WahanaNews-Borneo| Jet tempur generasi baru Korea Selatan KF-21 dan KF-X menyita perhatian publik usai menjalankan tes penerbangan pertamanya pada 19 Juli lalu.
KF-21 sendiri dibuat oleh Industri Luar Angkasa Korea (KAI), dengan kesepakatan kerja sama dari Indonesia.
Baca Juga:
Berbekal Perangkat Jadul, Houthi Nekat Lawan AS yang Andalkan Jet Tempur Canggih F-35
Sebagaimana diberitakan South China Morning Post, Indonesia sepakat membayar 20 persen biaya produksi jet tersebut. Total biaya yang diperlukan untuk produksi jet ini mencapai US$6,7 miliar (Rp100 triliun).
Lantas, apa yang membuat Korsel dan RI berkolaborasi dalam proyek pembuatan jet KF-21 ini?
Pengamat militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis, menilai kerja sama tersebut dilakukan agar kedua negara bisa lebih mandiri dalam mendapatkan alutsista mereka.
Baca Juga:
Performa Garang Rudal Rusia Vympel R-73 Milik TNI AU
"Produksi jet tempur ini adalah bagian dari diversifikasi sumber alutsista agar tidak tergantung dengan satu negara tertentu jika di embargo," kata Beni, belum lama ini.
Menurut Beni, alasan lain RI setuju membantu Korsel mengembangkan jet KF-21 ialah karena sejumlah pesawat tempur Jakarta bakal menjadi pesawat tua dalam belasan tahun.
"Kemhan [Kementerian Pertahanan] sudah memprediksi enam pesawat tempur F-16 yang kita punya saat pertama kali pada 1981-an dan 24 pesawat hibah pada 2014 sampai 2018 akan menjadi pesawat tua pada 15 sampai 20 tahun lagi," ujar Beni.
Ketika ditanya alasan RI menyetujui kerja sama tersebut, Beni menjawab, "Itu tadi, supaya bisa mandiri dari ketergantungan negara lain [Barat]."
Pendapat pengamat lain soal manfatk kolaborasi Korsel-RI bikin KF-21, baca di halaman berikutnya...
Sementara itu, pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati juga memiliki pendapat yang senada.
"Kerja sama tersebut merupakan proyek strategis untuk memperkuat alutsista TNI. Pesawat Tempur KF-X/IF-X memenuhi prototipe pesawat tempur modern untuk mengimbangi kekuatan udara beberapa negara tertentu di kawasan," kata Susaningtyas, Senin (25/7).
“Jadi pesawat tempur tersebut dirancang nantinya diproduksi di PT DI [Dirgantara Indonesia] dengan kapabilitas yang lebih baik dalam rancangan manuver ekstrem.”
"Dengan dilengkapi berbagai jenis rudal dan roket, maka pesawat tempur tersebut akan menjadi salah satu tulang punggung pencapaian air superiority [superioritas udara] di langit Indonesia," katanya.
Susaningtyas juga mengungkapkan TNI perlu meningkatkan kemampuan tempurnya.
"Dalam konsep perang udara di masa mendatang, TNI memang perlu meningkatkan kemampuan tempurnya, tidak saja di ruang udara [airspace] tetapi juga di ruang angkasa [outer space]. Baik ruang udara maupun ruang angkasa, keduanya merupakan kedaulatan udara NKRI," ujarnya.
Dari sisi Korsel, Susaningtyas menyampaikan Seoul menyetujui bantuan Jakarta karena negara itu merasakan manfaat dari kerja sama keduanya.
"Korsel menyetujui tentu saja ada unsur kemanfaatannya bagi negara mereka dan untuk menjaga lingkungan strategis kawasan," ujarnya lagi.
Sementara itu, Liang Tuang Nah dari Studi Internasional Sekolah S. Rajaratnam (RSIS) mengatakan Indonesia memiliki dua pertimbangan mengenai penggunaan KF-21, yakni pertahanan wilayah yang luas dan keusangan armada pesawat.
TNI AU harus menjaga 1.904.569km persegi wilayah darat Indonesia, pun ruang udara RI, termasuk yang berada di atas perairan dalam negeri. Ini membuat cakupan wilayah yang harus dipantau TNI AU cukup besar.
Tak hanya itu, pertimbangan operasional dan keamanan dapat terjadi dari waktu ke waktu, membuat militer RI bisa saja mengerahkan misi di zona ekonomi eksklusif (ZEE) negara itu.
"Semua ini membutuhkan armada udara yang cukup besar yang bisa dibilang tidak dimiliki oleh TNI AU, mengingat badan itu hanya memiliki 101 pesawat bersenjata dan enam pesawat patroli maritim untuk menjaga tanggung jawab ruang udara mereka yang luas," tulis Liang dalam The Diplomat.
Selain itu, Liang berpendapat tak semua pesawat tersebut selalu tersedia atau layak terbang. Sejumlah pesawat kadang harus menjalani pemeliharaan dan menunggu pengiriman suku cadang baru.
"Melihat kondisi ini, akuisis 50 jet tempur Boramae [KF-21] dalam beberapa tahun ke depan tidak tampak sebagai proposisi yang tidak masuk akal untuk penjagaan keamanan nasional," tulis Liang lagi.
Walaupun demikian, kerja sama jet KF-21 antara Korsel dan Indonesia mengalami masalah keuangan. Indonesia diketahui masih belum membayar 800 miliar won (Rp9,1 triliun) dari 20 persen biaya produksi jet ini ke Korsel, dikutip dari The Korea Times.
Indonesia sendiri sepakat membayar 20 persen atau 1,6 triliun won (Rp18,2 triliun) dari biaya total produksi jet KF-21, yang mencapai 8,8 triliun won (Rp100 triliun).
Dari kesepakatan itu, Indonesia bakal mendapatkan sejumlah jet KF-21 dan transfer teknologi.
Sementara itu, Presiden RI Joko Widodo bakal mengunjungi Korea Selatan pada Kamis (28/7) dan bertemu Presiden Yoon Suk Yeol.
Seorang pejabat kantor kepresidenan mengatakan masalah pembayaran tersebut kemungkinan bakal dibahas dalam pertemuan keduanya. [Ss]